Acara
peresmian pembukaan kantor perwakilan OPM pada 28 April lalu itu
dihadiri unsur negara. Yaitu, Walikota Oxford Mohammad Niaz Abbasi,
anggota Parlemen Inggris Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxford, Elise
Benjamin. Acara itu juga dihadiri perwakilan dari Pengacara
Internasional untuk Papua Barat (ILWP) dan pendukung Organisasi Papua
Barat yang ada di Belanda. Keberpihakan Andrew Smith tersebut merupakan
yang kesekian kalinya ditunjukkan kepada publik terhadap Papua Merdeka,
Smith adalah pendiri sekaligus ketua forum Anggota Parlemen
Internasional untuk Papua Barat (IPWP).
Keberadaan
Kantor di Oxford tersebut, sebagaimana dirilis freewestpapua.org,
diresmikan pada 28 April 2013 lalu. Disebutkan, keberadaan kantor itu
akan semakin memperkuat upaya kampanye kemerdekaan Papua. Dalam
peresmian tersebut, Andrew Smith menyatakan komitmennya untuk mendukung
gerakan Papua Merdeka. Wali Kota Oxford juga menyatakan hal serupa saat
menggunting pita. Peresmian juga dihadiri oleh perwakilan dari Papua,
Jennifer Robinson and Charles Foster dari International Lawyers for West
Papua (ILWP), mahasiswa Oxford University, serta pendukung Papua
Merdeka yang ada di Inggris dan Belanda. Pemerintah Indonesia tidak bisa
menganggap sebelah mata pembukaan kantor Organisasi Papua Merdeka (OPM)
di Oxford, pembukaan kantor OPM tersebut merupakan bentuk eskalasi
perjuangan politik OPM memisahkan Papua dari wilayah NKRI. Pembukaan
kantor OPM di Oxford, Inggris bukan kasus terakhir. Sebab OPM juga
berniat membuka kantor perwakilan di Jerman.
Kementerian
Luar Negeri (Kemlu) Indonesia memanggil Duta Besar (Dubes) Inggris di
Jakarta. Mark Canning terkait pembukaan Kantor Operasi Papua Barat atau
Free West Papua Campaign di Oxford, Inggris. Terkait polemik tersebut,
Dubes Inggris untuk Indonesia Mark Canning sudah menyatakan bahwa
peresmian kantor OPM bukan kebijakan resmi Pemerintahnya. “Pemerintah
Kota Oxford tidak bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri kami dan
mereka mengambil keputusan untuk menghadiri pembukaan perwakilan Free
West Papua berdasarkan keputusan sendiri,” tutur Kedubes Inggris. Secara
tersirat pesan Kedutaan Inggris menyatakan, Pemerintah Kota Oxford
tidak mempengaruhi kebijakan luar negeri Inggris. Dalam siaran pers
Sabtu 4 Mei 2013, Canning menjelaskan pandangan Dewan Kota Oxford
terlebih visi Benny Wenda, tidak mewakili pandangan pemerintah Inggris.
Dewan Kota Oxford seperti halnya dewan-dewan lainnya di Inggris, bebas
mendukung tujuan apapun yang mereka inginkan. Mereka bukan bagian dari
pemerintah. Segala bentuk tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan
pemerintah Inggris
Kegiatan
organisasi itu tidak mendapat dukungan dari Pemerintah Inggris dan
oposisi parlemen di sana. Pasalnya, Pemerintah Inggris secara formal
tetap mengakui kedaulatan NKRI atas Papua. Menurut Canning, posisi
pemerintah Inggris cukup jelas, yaitu menghargai Papua sebagai bagian
dari Indonesia dan ingin Papua mencapai kesejahteraan dan perdamaian,
sama seperti provinsi-provinsi lainnya diseluruh Indonesia. Pemerintah
Inggris juga sependapat dengan pernyataan perwakilan Komisi HAM PBB Navi
Pilay yang pada Jumat lalu, 3 Maret 2013, bahwa masih ada beberapa
keprihatinan dugaan pelanggaran HAM di Papua yang harus ditangani.
Secara pribadi, Canning pun menyadari bahwa ada usaha-usaha yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memperbaiki keadaan, seperti
mengatasi masalah ekonomi dan pembangunan sosial. Inggris pun dalam hal
ini sepenuhnya mendukung usaha-usaha tersebut.
Wajar
bila mana pemerintah Indonesia meminta kepada pemerintah inggris untuk
melakukan klarifikasi terkait pembukaan kantor OPM Papua merdeka di Kota
Oxford. Indonesia telah
menjadi negeri yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi. Bahkan
Indonesia telah menjadi penggerak kemajuan soal HAM dan demokrasi di
ASEAN. Atas prestasi itu, Indonesia mau berbagi pengalaman dengan semua
negara di dunia. Pembukaan kantor OPM ini jelas mencederai hubungan
Inggris dan Indonesia yang terjalin baik. “Separatisme adalah soal
kedaulatan negara. Sikap ikut campur Inggris dalam hal ini harus
ditolak, Seharusnya pemerintah Inggris bersikap bijak. Sebab, mereka
sendiri punya masalah separatisme dengan riwayat yang panjang, yakni
dengan Irlandia Utara dan Skotlandia. Begitupun saat terlibat dalam
konflik mempertahankan Malvinas dengan Argentina. Indonesia tak pernah
ikut campur soal Inggris. Meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menerima gelar Grand Cross of Bath
dari Kerajaan Inggris, bukan berarti kini boleh bersikap lembek.
Pemerintah Inggris memang masih mengakui kedaulatan NKRI atas Papua.
Namun, pembukaan kantor OPM itu merupakan dualisme sikap yang harus
ditentang.
2 komentar:
Posting Komentar