1160 Masehi
Menjelang
berakhir masa pemerintahannya, sang prabu Joyoboyo memerintahkan
membangun sebuah museum demi mengenang 100 tahun sejak Dewi Kilisuci
bertapa di punggung bukit Mas Kumambang.
Museum tepat di kaki bukit Mas Kumambang itu dinamai goa Mangleng,
sebuah museum dari bongkahan batu raksasa alam yang dirancang mampu
bertahan dalam jangka waktu lebih dari seribu tahun.
Sang prabu Joyoboyo yang beberapa tahun sejak pembangunan museum
itu kemudian menyerahkan tampuk kekuasaan kepada ratu Srengga lantas
beliau mengundurkan diri ke wilayah Menang yang terletak di sebelah
utara kraton Kediri (baik dipandang dari di sisi barat maupun dari sisi
timur sungai Brantas). Selama menjalani hidup seorang pertapa sang prabu
Joyoboyo masih memerlukan sesekali mengunjungi museum Selomangleng itu
secara diam-diam. Beliau menempuh perjalanan seorang diri dari tempat
pertapaan di daerah Menang, Pagu yang masih berupa hutan belantara lebat
diselingi rawa-rawa yang kala itu masih jernih airnya dengan demikian
tidak terdapat seekor nyamuknya di sana membikin sarang.
Tiap kali memerlukan berkunjung ke museum goa Mangleng sang Prabu
Joyoboyo menempuh rute sebagai berikut: dari Menang, Pagu berjalan lurus
ke arah barat menuju daerah Njongbiru, yakni tempat umum bagi penduduk
yang akan menyeberang sungai Brantas. Baik dari tepi barat ke timur,
demikian pula sebaliknya. Kala itu perahu yang hilir-mudik di kedua sisi
sungai itu, mereka selalu bersedia mengantarkan siapapun yang hendak
menyeberangi sungai, bahkan tanpa dikenakan biaya alias gratis.
Kali ini musim penghujan baru saja tiba, setelah berada di seberang
sungai sebelah barat selanjutnya beliau meneruskan perjalanannya
mengarah lebih ke barat lagi tepat pada arah gunung Wilis. Akan tetapi
tidak sebagaimana biasanya kali ini sang prabu tidak berkenan hendak
mengunjungi putrinya Dewi Pramesti yang tingga di lereng Wilis bersama
sang jabang bayinya, Angling Dharma.
Sejenak sepasang mata tajam sang prabu mengarah ke suatu titik di
kejauhan, beberapa ribu meter dari titik penyeberangan sungai Brantas
itu nun jauh di arah tenggara beliau menaksir jarak yang hendak
ditujunya. Langit cukup cerah hari ini sebuah wilayah kehijauan yakni
perbukitan Mas Kumambang menjadi tujuan perjalanan beliau kali ini.
Tanpa
ragu dan dengan mantap mulailah kaki sang prabu yang berterompah kulit
kambing melangkah semakin cepat. Perjalanan darat yang jaraknya
sepenglihatan mata itu biasa saja dilakukan oleh siapapun di masa itu,
apalagi beliau juga berpenampilan layaknya pertapa umumnya di masa itu.
Dan menjadi pemandangan umum sehingga bukan suatu keanehan bagi
penduduk menyaksikan para pertapa sering tampak berlalu-lalang
menyeberangi sungai brantas dan selanjutnya mengembara di seantero
wilayah kerajaan Kediri.
Dengan suasana negeri sebagai itu maka tiap kali menempuh
perjalanan ke manapun sang prabu tidak pernah dikenali oleh para
penduduk setempat, mereka terutama yang mengolah wilayah subur yang
membentang antara tepi barat sungai Brantas hingga kaki gunung Wilis.
Kala itu Ratu Srengga sudah bertakhta selama beberapa tahun. Beliau
menaiki singgasana Kediri menggantikan sang prabu Joyoboyo. Ratu kini
tengah sibuk membangun candi Penataran di wilayah sekitar gunung Kelud.
Tidak mengherankan jika segenap perhatian sang ratu tercurah dan selalu
mengarah ke tenggara dari pusat Kediri.
Candi Penataran posisinya berlawanan arah dengan pertapaan sang
prabu Joyoboyo di Menang, Pagu. Memang letak pembangunan candi Penataran
pada satu pilihan yang tepat. Kelak candi Penataran di samping untuk
keperluan mencandikan diri, juga sekaligus mengadakan upacara
berdepan-depan dengan gunung yang sangat aktif dan sering meletus dan
melontarkan hujan pasir ke seantero Kediri.
Letusan gunung Kelud itulah menjadi penyebab wilayah sebelah
tenggara Kediri dan selingkaran gunung Kelud tanah pertanian selalu
bercampur dengan pasir. Sedangkan wilayah tepi Barat sungai Brantas sama
sekali terbebas dari adanya campuran pasir pada lahan pertanian
penduduk yang sebagian besar terdiri dari tanah lempung hitam yang
subur.
Kembali pada perjalanan sang Prabu Joyoboyo, setelah melewati
Mircan beliau selalu menemukan sebuah mata air jernih yang mengalir di
sungai kecil yang bening airnya, bahkan di musim kemarau sekalipun.
Rintangan satu-satunya berupa sungai kecil itu memang rute yang
terbaik dari wilayah Menang yang hendak mengarah ke Mas Kumambang. Jika
sang prabu menempuh rute tertalu ke selatan dari Mrican, beliau sudah
tahu akan menemui dua anak sungai yang mengalir ke Brantas. Dua anak
sungai Brantas itu satu sama lain jaraknya tidak terlalu jauh. Tentu
saja jika harus menyeberangi sungai perjalanan menjadi agak sulit
tatkala menempuh rute ke bukit Mas Kumambang dengan melewati wilayah
itu.
Dua sungai kecil itu berhulu di bukit Mas Kumambang, arusnya memang cukup deras pada awal di musim hujan saat ini.
Rute yang baik serta mudah dipilih sang prabu, dan kini setelah
menyeberangi sungai kecil yang jernih di barat wilayah Mrican, kini sang
prabu memasuki wilayah Gayam, Kenton dan selanjutnya mulai menaiki sisi
paling utara bukit mas Kumambang.
Pemandangan alam luas mulai membentang di barat sana tampak desa
terdekat Manyaran dan Kaligayam yang merupakan jalur mendaki gunung
Wilis.
Sang Prabu dari Mrican terus-menerus berbelok ke kiri dan mulai
menemukan tempat mendaki menuju punggung bukit Mas Kumambang. Bukit ini
terdiri dari lima puncak tinggi, bagian tertinggi berada di bagian
tengah dari kelima puncak tersebut.
Sang Prabu tiba di goa selo Bale petilasan Dewi Kilisuci menjelang
sore hari, tempat itu seperti biasanya terawat dengan baik dan dapat
dipergunakan bagi siapapun yang tengah kemalaman di wilayah bukit Mas
Kumambang.
Tanpa membuang waktu sebagaimana perjalanan sebelumnya tentu saja
pada akhirnya sang Prabu Joyoboyo memutuskan bermalam selama beberapa
hari di goa Selo Bale.
Selama menempuh perjalanan sejak menyeberangi sungai Brantas tak
ada gangguan datang dari apapun, baik manusia maupun hewan buas. Wilayah
Kediri memang gemah ripah loh jinawi di masa itu. Hanya beberapa kali
beliau berpapasan dengan sesama kaum pertapa, sudah galibnya jika dua
orang berpapasan maka adat setempat yang berlaku kala itu ialah saling
mengangkat sembah ngapurancang, dan saling menyilakan jalan lebih dulu.
Setelah menginap malam itu dan bersemadi dua malam di Selo Bale
sang Prabu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali menuju selo
Mangleng. Letaknya dari tempat itu tidak terlalu jauh, hanya menuruni
bukit dengan arah melingkar. Waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama
hanya sebatas waktu yang biasa dipergunakan oleh para penduduk untuk
menjemur dan mengeringkan padi dalam sehari.
Goa Selomangleng dikenal oleh para pertapa di wilayah Kediri
merupakan tempat semadi yang baik, sekaligus tempat bermalam yang
nyaman. Siapapun boleh menggunakan tempat itu, walau demikian mereka
juga akan menyilakan lebih dulu bagi keluarga kerajaan yang kebetulan
memiliki niatan sama ke tempat tersebut.
Kali ini setibanya di dekat tujuan sang prabu sekali lagi hanya
menemui kesunyian belaka, juga di mulut goa Selomangleng tak nampak
siapapun juga. Ruangan goa Mangleng menyambut kedatangan sang Prabu
seperti biasanya tatkala masih memerintah di kraton Kediri. Di bagian
dalam goa sang prabu menemui sekeranjang buah-buahnya segar dari
berbagai jenis yang sudah beberapa hari dipersembahkan di tempat itu.
Alat-alat semadi berupa dupa, seperangkat perlengkapan makan sirih juga
telah tersedia dan memenuhi ruangan sebelah kanan yang biasanya
dijadikan ruang semadi.
Di dalam ruangan itu terdapat sosok prabu Airlangga yang merupakan
penjelmaan Wisnu, arca batu yang menyatu dengan dinding goa itu tidak
mungkin dipindahkan dari ruangan itu dan akan abadi ribuan tahun ke
depan. Sang prabu terkenang tatkalah telah memerintahkan pematung
terbaik di Kediri untuk membuat arca tersebut.
Beliau segera memulai semadi dan waktu pun mengalir terus hingga
menjelang senja hari. Pintu goa yang menganga itu kemudian ditutup oleh
beliau dengan papan kayu yang telah disediakan di sekitar goa. Udara
menjadi hangat di dalam goa. Selanjutnya sang prabu berpindah ke bagian
tengah sejenak menyantap apa adanya yang berada di meja persembahan
itu.
Malam pun jatuh menggantikan senja lembayung, suara serangga
terdengar berbeda dari biasanya. Prabu Joyoboyo berpindah tempat ke
sebelah selatan bagian dalam goa, tadi siang beliau sempat mengumpulkan
daun kering sebagai alas tidur di ruang selatan goa Selomangleng. Ukuran
ruangan itu memang pas untuk sosok sang Prabu, beliau sering
menggunakan ruang itu semasa masih memerintah Kediri.
Semua yang tengah terjadi di bukit Mas Kumambang -- kedatangan Sri
Aji Joyoboyo -- tetap luput dari pantauan istana Kediri. Ratu Srengga
memang sedang mengerahkan segala dayanya dalam membangun candi Penataran
di barat laut Blitar atau di tenggara Kediri.
0 komentar:
Posting Komentar